Tiga Level Pembacaan Alkitab

Membaca Kitab Suci ibarat kita sedang membuka pintu surga sebab Kitab Suci adalah firman Allah dalam bahasa manusia yang memberi kita kunci menuju surga. Alkitab adalah firman Allah yang tertulis tentang Kristus. Kristus adalah pusat atau hati dari Alkitab. Bishop Kallistos Ware mengutip 1976 Moscow Conference menyatakan bahwa, “The “Scriptures constitute a coherent whole,” where are we to locate their wholeness and coherence? In the person of Christ. He is the unifying thread that runs through the entirety of the Bible, from the first sentence to the last. Jesus meets us on every page. It all ties up because of Him. “In Him all things hold together” (Col 1:16). Ware juga menuliskan, “It is important to see the unity of Scripture as well as the diversity, the all-embracing end as well as the scattered beginnings. Orthodoxy prefers for the most part a “synthetic” rather than an analytical style of hermeneutics, seeing the Bible as an integrated whole, with Christ everywhere as the bond of union.” Kristus adalah jalan menuju kepada Allah. Kristus adalah tangga menuju kepada surga itu. Dan melalui pembacaan Alkitab kita sedang mengenal jalan tersebut. Kita akan menjadi semakin mahir memanjat tangga tersebut.

Sebab itu pembacaan Alkitab membutuhkan tuntunan Roh Kudus dalam doa sebab hanya Dia yang mengajarkan kita segala sesuatu tentang Kristus (Yoh 14:26). Pembacaan Alkitab merupakan interaksi roh kita dengan Roh Kudus mengenai firman Allah. St. Isaac of Nineveh menuliskan, “Do not approach the words of the mysteries contained in the Scriptures without prayer and without asking for God’s help. Say, “Lord, grant that I may receive an awareness of the power that is within them.” Consider prayer to be the key to the understanding of truth in Scripture.” St. Basil the Great menuliskan, “The voice of the Gospels is much more magnificent than the other teachings of the Holy Spirit. In the other teachings God spoke to us through his servants the prophets, but in the Gospels he spoke to us personally through his Son and our Lord. Read the Scriptures for your own sake, for you will find there the remedy for every one of your ailments.” Sehingga seperti kata St. Tikhon, “Ketika kita membaca Alkitab, Kristus sendiri yang sedang berbicara kepada kita dan sementara kita membaca, kita sedang berdoa dan berbicara kepada-Nya.” Membaca Alkitab tidak lagi sekedar masalah kognitif atau pengetahuan saja di dalam NOUS melainkan melibatkan hati dan jiwa serta segenap kekuatan seperti kasih kita kepada Allah dengan segenap keberadaan diri dalam pikiran, hati, jiwa, dan kekuatan kita.

Dan kita tahu bahwa Iblis tidak akan pernah tinggal diam untuk selalu menggagalkan usaha kita membaca Alkitab. Iblis akan memakai segala tipu muslihat untuk menyerang NOUS, hati, jiwa, dan kekuatan kita sehingga kita tidak boleh memberi kesempatan kepada Iblis (Efe 4:27). Sebab itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui cara kerja Iblis yang penuh tipu muslihat itu. NOUS, hati, jiwa dan kekuatan kita dapat kita membagi menjadi 3 bagian dari diri manusia yakni roh, jiwa, dan tubuh. Ketiga bagian ini adalah kognitif, afektif, dan psikomotorik manusia yang bekerja ketika kita membaca Alkitab.

Level Kognitif
NOUS dan LOGOS (manifestasi dari NOUS seperti kognitif atau pemahaman kita) kita belajar firman Allah sehingga kita memahami isi hati Allah yang terdapat di dalam firman-Nya. Kognitif atau otak kita mendapatkan konsep atau ide melalui interaksi NOUS dan LOGOS kita dengan firman Allah. Namun di saat yang bersamaan ada begitu banyak informasi dan ajaran yg masuk ke dalam kognitif yang bisa bersifat destruktif dan kita tahu itu berasal dari dunia atau Iblis. Ajaran sesat dan persepsi kita yang salah menangkap berbagai informasi menjadi tantangan bagi kognitif ketika kita sedang membaca Alkitab. Sebab itu Rasul Paulus menasihati kita supaya berhati-hati jangan ada yang menawan kita dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut tradisi turun temurun dan roh-roh dunia tetapi tidak menurut Kristus (Kol 2:8). Sehingga kita tidak boleh menjadi serupa dengan dunia ini tetapi memperbarui NOUS secara terus menerus dengan cara mempelajari firman Allah setiap hari. Seperti St. John Damascene tuliskan, “To search the Scriptures is a work most fair and profitable for souls. For just as the tree planted by the channels of waters, so also the soul watered by the Scriptures is enriched and gives fruit in its season….”

Level Afektif
Apa yang ditangkap di level kognitif harus diturunkan ke hati kita karena di situlah konsep atau pemahaman kita akan firman Allah dimatangkan atau dijiwai atau dihayati. Di dalam hati inilah pikiran atau NOUS kita berjumpa dengan Allah dan mendengarkan Dia secara pribadi apa yang menjadi keinginan Allah terhadap pemahaman firman Allah yang sudah dipelajari. Doa merupakan cara terbaik mengintegrasikan kognitif dan afektif. Pikiran dan hati bersatu. St. Nicodemos of the Holy Mountain menyatakan, “When you read the Scriptures, do not have in mind to read page after page, but ponder over each word. When some words make you go deep into yourself, or stir you to contrition, or fill your heart with spiritual joy and love, pause on them. It means that God draws near to you.”

Konsep di dalam kognitif harus dipahami sebagai isi hati Allah untuk hati kita secara pribadi. Ware dengan tepat menuliskan, “A personal approach of this kind means that in reading the Bible we are not simply detached and objective observers, absorbing information, taking note of facts. The Bible is not merely a work of literature or a collection of historical documents, although certainly it can be approached on that level. It is, much more fundamentally, a sacred book, addressed to believers, to be read with faith and love. We shall not profit fully from reading the Gospels unless we are in love with Christ. “Heart speaks to heart”: I enter into the living truth of Scripture only when my heart responds with love to the heart of God.”Sebab itu ada personal dialogue antara hati kita dengan Allah. Ware menuliskan, “According to Saint Mark the Monk (“Mark the Ascetic,” fifth/sixth century), “He who is humble in his thoughts and engaged in spiritual work, when he reads the Holy Scriptures, will apply everything to himself and not to his neighbor.” We are to look throughout Scripture for a personal application. Our question is not simply, “What does it mean?” but “What does it mean for me?” As Saint Tikhon insists, “Christ Himself is speaking to you.” Scripture is a direct, intimate dialogue between the Saviour and myself—Christ addressing me, and my heart responding.”

Di level afektif ini kita akan menangkap keinginan Allah atau keinginan Roh itu yang harus dibuahi menjadi perbuatan atau tindakan nyata (buah Roh). Namun di saat yang bersamaan, di level ini juga mendapat tantangannya yakni adanya keinginan daging. Keinginan daging ini berasal dari berbagai ajaran sesat atau informasi yang diserap kognitif kita sehingga pikiran (LOGOS) menjadi jahat dan pikiran jahat menimbulkan nafsu yang disebut keinginan daging itu. Dan keinginan ini bertentangan dengan keinginan Roh. Sebab itu, kita harus dipimpin atau hidup oleh Roh Kudus sehingga keinginan Roh itu akan berbuahkan buah Roh atau pekerjaan baik dan sekaligus mematikan atau menyalibkan nafsu atau keinginan daging tersebut (Gal 5:16-25).

Level Psikomotorik
Pada level ini Roh Kudus akan menuntun hati ini supaya roh kita menguasai tubuh dan menggerakkan seluruh kekuatan atau daya tubuh untuk melakukan keinginan Roh yang ada di dalam hati tadi. Di sinilah iman termanifestasi dalam perbuatan sehingga iman ini menjadi hidup. Di sinilah kasih kepada Allah dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan itu terwujud. Namun pada saat yang bersamaan, godaan Iblis tetap datang menyerang dalam berbagai cara dan wujud seperti penderitaan dan aniaya dari musuh bahkan yang tersembunyi atau subtle sekalipun seperti kesombongan atau kemegahan diri. Sebab itu, pada level ini kita membutuhkan kerendahan hati dan belas kasihan Allah bahwa semua perbuatan kita itu berasal dari Allah yang bekerja di dalam diri kita (1 Kor 15:10; Fil 2:13). Kedewasaan atau pertumbuhan itu berasal dari Allah semata karena itu kita dengan kerendahan hati membutuhkan belas kasihan Allah ketika kita menanam dan menyiram benih firman itu di dalam 3 level yang ada di dalam diri kita.

[Dr. Hendi]